Sunday, November 22, 2009

Pengantar Prasasti


Prasasti ialah artefak bertulisan dari masa lampau yang ditulis di atas batu, logam (emas, perak, perunggu dan tembaga), tanah liat (baik yang dibakar atau hanya dijemur), dan tanduk binatang. Prasasti yang tertua di Indonesia berasal dari abad V Masehi, berupa tulisan pada 7 buah yūpa (tiang kurban) di Kalimantan Timur (daerah Kutai). Tetapi ada juga artefak bertulisan sejak masa klasik yang tidak dimasukkan dalam kelompok prasasti seperti naskah-naskah susastra, naskah-naskah sejarah, naskah-naskah hukum dan ketatanegaraan kuna, naskah-naskah keagamaan dan arsip-arsip hubungan administratif antara para penguasa pribumi dengan para pendatang dari Barat. Kelompok terakhir itu biasanya digarap oleh para ahli filologi dan ahli sejarah, sedangkan prasasti ditangani oleh para ahli epigrafi.
Kebiasaan menulis prasasti itu muncul setelah nenek moyang kita mempelajari aksara dari kebudayaan India yang bersentuhan dengan kebudayaan kita sejak kira-kira permulaan tarikh Masehi. Karena itu maka prasasti-prasasti dari masa Klasik yang tua menggunakan huruf Pallawa dan Siddhamātŗka (sering digunakan dengan istilah Pre Nāgarī) dengan bahasa Sansekerta. Huruf Pallawa itu kemudian berkembang menjadi huruf yang oleh para sarjana dahulu disebut huruf Jawa Kuna. Istilah itu kurang tepat karena huruf itu digunakan juga di Sumatera, di Bali, di Kalimantan, di Madura, di Lombok dan di Sumbawa. Maka disini diusulkan istilah huruf Pasca-Pallawa. Bahasa yang digunakan dalam prasasti-prasasti sejak abad VII dan permulaan abad IX Masehi ialah bahasa Melayu Kuna, Jawa Kuna, Bali Kuna dan bahasa Sunda Kuna.
Setelah nenek moyang kita berkenalan dengan kebudayaan Islam maka muncullah prasasti-prasasti dengan huruf dan bahasa Arab sejak abad ke XII Masehi. Dengan timbulnya kerajaan-kerajaan Islam diberbagai tempat di Indonesia muncullah prasasti-prasasti dengan huruf Arab Pegon, yaitu huruf Arab yang digunakan untuk menulis dalam bahasa Melayu dan Jawa. Muncul pula huruf lokal hasil perkembangan huruf Pasca-Pallawa, seperti huruf Jawa, Sunda, Bali, Rejang, Makasar, Bugis dan lain-lain. Bahasa yang digunakan ialah bahasa daerah sesuai dengan kekuasaan para raja (Sultan), dengan catatan bahasa Jawa dipakai di seluruh pulau Jawa, termasuk daerah Pasundan, di Lampung, Bengkulu, Palembang dan Jambi.
Kedatangan orang-orang Barat seperti orang Portugis, Inggris dan Belanda memperkenalkan huruf Latin. Maka muncul prasasti-prasasti dengan huruf Latin yang menggunakan bahasa Portugis, Inggris dan Belanda. Yang belum digarap sampai sekarang ialah prasasti-prasasti dengan huruf dan bahasa Cina, yang sebagian terbesar terapat pada batu-batu kubur. Penelitian yang terakhir itu penting untuk mengetahui sejak kapan orang Cina mulai bermukim di Indonesia dan dari daerah mana di Cina mereka berasal.
Istilah prasasti merupakan pengindonesiaan kata Sansekerta praśāsti yang berarti “perintah”. Di dalam prasasti-prasasti yang berbahasa Jawa Kuna, dokumen itu sendiri memang disebut praśāsti, rājapraśāsti atau saŋ hyaŋ ājña haji praśāsti. Istilah terakhir itu sebenarnya pleonasme, karena ājña juga berarti “perintah”. Sebutan saŋ hyaŋ menunjukkan bahwa prasasti itu dianggap sebagai benda yang keramat. Di dalam prasastinya sendiri sering disebutkan bahwa setahun sekali harus diadakan upacara untuk memperingati hari-hari dan tanggal pembuatan prasasti itu.
            Memang sebagian besar prasasti-prasasti dari masa Klasik dan masa Islam berisi perintah raja. Tetapi dengan rumusan seperti di atas maka di bidang studi epigrafi semua artefak bertulisan, termasuk sepotong batu yang hanya memuat satu angka tahun, disebut prasasti. Jadi prasasti dapat ditemukan dalam bentuk naskah panjang yang dituliskan di atas batu yang diratakan secara halus dengan ukuran tinggi sekitar 2 meter, lebar sekitar 1 meter dan tebal 25-30 cm dengan tulisan sampai 49 baris pada keempat sisinya sampai kepada satu perkataan yang menyebut gelar, seperti kata hino, yang ditulis dengan semacam cat pada sepotong batu, atau naskah panjang yang dipahatkan pada lebih dari 15 lembar lempengan perunggu dengan ukuran panjang sekitar 40 cm dan lebar sekitar 15 cm dengan tulisan 7 baris pada kedua belah sisinya (kecuali lempengan pertama dan terakhir yang biasanya hanya ditulisi pada satu sisi saja sampai kepada satu kata dharmma yang digoreskan pada sepotong emas kecil dengan ukuran 0,4 x0,4 cm.
Seperti yang telah dikatakan sebelumnya sebagian besar prasasti berisi perintah raja. Dalam jaman Klasik perintah itu pada umumnya untuk menetapkan sebidang tanah, sebuah desa atau beberapa desa menjadi sīma, yaitu semacam daerah perdikan yang dibebaskan dari kewajiban membayar sebagian besar pajak dan pungutan-pungutan yang lain serta kerja bakti (drawya haji dan buat haji). Sīma itu biasanya dianugerahkan kepada orang atau masyarakat desa yang telah berjasa kepada raja, atau dianugerahkan untuk pengelolaan bangunan suci atau pengelolaan sesuatu untuk kepentingan umum. Lain daripada itu, ada juga prasasti-prasasti yang memperingati pendirian bangunan suci, pentahbisan arca, pembuatan bendungan, saluran air, perbaikan jalan dan ada pula prasasti yang memperingati perjalanan ekspedisi seorang raja dan pembuatan ibukota baru seperti prasasti Kedukan Bukit tahun 682 Masehi. Pengadilan kuna juga mengeluarkan putusan hukum yang diberikan kepada pihak yang menang di dalam pengadilan; keputusan semacam itu disebut jayapattra atau jayasoŋ. Pelunasan hutang atau gadai disebut śuddhapātra.
Maklumat atau surat keputusan Sultan Mataram, Banten, dan Palembang ditemukan kembali dalam bentuk lempengan-lempengan tembaga bersurat, yang di dalam dokumennya sendiri disebut piagƏm (piagam). Pada umumnya piagƏm-piagƏm itu berisi pemberian anugerah kenaikan pangkat atau pemberian hak-hak istimewa kepada pejabat yang berjasa kepada kerajaan atau berisi perundang-undangan yang harus ditaati di suatu daerah tertentu. Sebagian besar prasasti-prasasti dari masa Islam berupa tulisan-tulisan pada batu nisan para sultan, bangsawan dan pejabat tinggi suatu kerajaan, yang berisi keterangan tentang kapan orang itu meninggal, disertai kutipan dari beberapa ayat-ayat dari Al Qur’an. Ada juga keterangan-keterangan yang kurang penting dari segi sejarah politik, seperti misalnya kapan dan dimana sebuah meriam dibuat, kapan istana dan mesjid kuna dibuat dan keterangan singkat dari beberapa cap kerajaan Islam di berbagai tempat di Nusantara ini. Dari masa kolonial kita dapatkan keterangan-keterangan dari batu-batu kubur di kompleks gereja-gereja tua, kapan sebuah benteng dibuat, kapan dan dimana beberapa meriam dibuat dan keterangan pada beberapa tugu peringatan, antara lain tugu peringatan pembelotan Pieter Erberveld di Jakarta. 
Para sejarawan yang berusaha merekonstruksi sejarah bangsa kita berdasarkan sumber prasasti menemukan jauh lebih banyak bahan dari prasasti-prasasti jaman Klasik daripada data dari prasasti-prasasti masa sesudahnya. Karena itu apa yang dipaparkan di sini ialah hasil tafsiran prasasti-prasasti masa Klasik, karena pada umumnya lebih panjang dan lebih konsisten strukturnya. Pertama prasasti memberi kerangka kronologi, karena hampir semuanya berangka tahun. Prasasti-prasasti dari masa Klasik menyebut angka tahun dengan unsur-unsur penanggalan pada permulaan prasasti, sedangkan prasasti-prasasti dari masa Islam menyebutnya bagian belakang. Di dalam kerangka kronologi itu dimasukkan kerajaan-kerajaan dimana saja dan dinasti siapa saja yang berkuasa di berbagai pusat kekuasaan. Menyusul kemudian struktur kerajaan dan struktur birokrasinya, mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat desa. Prasasti-prasasti juga memberi bahan untuk rekonstruksi struktur sosial dan perekonomian,tentang perdagangan luar dan dalam negeri, tentang perpajakan, pengadilan dan kesenian. Beberapa prasasti juga memberi keterangan tentang agama dan kepercayaan. Berbagai upacara, terutama upacara penetapan sīma, sering diceritakan dengan panjang lebar.

Sumber : Boechari (1990), Bahan Kuliah Epigrafi Indonesia
 

No comments:

Post a Comment